Jika Anda ditanya, acara di televisi apakah yang paling tidak kreatif
namun banyak iklannya? Tentu akan muncul berbagai variasi jawaban.
Menurut saya, salah satu acara yang layak divonis tidak kreatif adalah
tayangan instan “Courtesy Youtube”. Bentuknya berupa tayangan berisi
potongan video dari Yuotube yang diiringi dengan narasi, tema, dan judul
yang dibuat unik dan menarik disertai ranking atau peringkat antah
berantah. Seperti contoh 7 keajaiban dunia binatang, 7 kejadian lucu
saat sepak bola, 10 masjid terindah di dunia, 7 hadiah ulang tahun
termahal, sekolah paling aneh sedunia, dan masih banyak lagi judul-judul
dan ranking ajaib sesuai dengan kebutuhan tayangan.
Sejauh ini, tayangan comotan instan dari Youtube di televisi tetap
bertahan karena masih menghasilkan rating yang tinggi. Disebut tayangan
instan karena tidak memerlukan proses shooting dan tetek bengek proses
produksi lainnya, melainkan hanya mengambil bahan dengan cara
mendownload video di situs Youtube, diberi narasi voice over, diedit
dengan grafis sederhana, lalu dicantumkan “courtesy youtube” dibawahnya.
Habis perkara! Urusan hak cipta dan validitas informasi seolah menjadi
nomor sekian. Yang penting iklan jalan terus, program tetap berlanjut.
Hampir setiap stasiun televisi mempunyai program acara instant model ini. Sebutlah di Trans 7 yang menjadi pelopor program On the Spot.
Awalnya tayangan ini pada tahun 2010 menayangkan video klip musik
dengan pembawa acara Thalita Latief. Pada awal 2011, terlihat perubahan
signifikan. On The Spot bertransformasi menjadi program dokumenter (menurut rating Nielsen, On The Spot masuk kategori Information: Documentary, namun jangan membayangkan dokumenter acara ini seperti tayangan Discovery atau National Geographic Channel). Acara yang tayang setiap Senin-Jumat pukul 19.30 WIB ini mengambil potongan klip dari situs Youtube. Setiap episodenya, ada tema khusus yang diangkat. Dari 1 tema, akan ditampilkan 7 contoh. Misal; 7 Fenomena Alam Teraneh, 7 Ikan Spektakuler di Dunia, 7 Penampakan Menghebohkan sampai 7 Makhluk Misterius. Kehadiran On The Spot cukup berpengaruh pada jam primetime. Pada September 2011, Menurut Rating AC. Nielsen, On The Spot bahkan ada di posisi 2 dengan TVR 4,3 dan share 17,3. On The Spot mampu bersaing ketat dengan program sinetron, animasi, dan lawak yang mendominasi top 10 rating. (http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/ulasan/15540-acara-qcourtesy-of-youtubeq-tumbuh-subur-di-tv-nasional.html)
On The Spot bukan satu-satunya acara Trans 7 yang menampilkan tulisan Courtesy of Youtube. Untuk slot pagi, ada Spotlite yang tayang di Trans 7 pukul 10.00 WIB. Formatnya seperti On The Spot,
tetapi tidak berpatokan pada 7 item. Beberapa tema yang pernah dibahas:
“Penyanyi Indonesia yang Meraih Penghargaan Nasional” dan “Keunikan
Hidangan Penutup”. Lebih bertema ke wanita atau ibu rumah tangga karena
pada pukul 10.00 WIB kebanyakan penontonnya adalah wanita atau ibu rumah
tangga. Namun ratingnya tak secemerlang On The Spot. September 2011, situs tabloidbintang.com mencatat Spotlite ada di peringkat 126 dengan TVR 0,9 dan share 6,4.
Global TV tidak ketinggalan. Menampilkan acara bertajuk Hot Spot dengan
host Maya Wulan. Tema-temanya seragam, antara lain Bank Unik di Dunia,
Museum Terseram di Dunia, atau Suasana Puasa di Berbagai Negara. Bahkan
jika diamati, logo Hot Spot sengaja dibuat mirip dengan logo Youtube. Rating Hot Spot September 2011 ada di posisi 120 dengan TVR 0,9 dan share 6,6 (http://www.tabloidbintang.com).
Meski kurang prima jika bersaing dengan stasiun lain, tapi acara ini
masuk top 10 program Global TV. Hot Spot tayang Senin-Jumat pukul 11.30
WIB. Global TV mempunyai tayangan baru yang serupa bernama TOP Banget
yang tayang sore pukul 16.00 WIB
ANTV pun ikut-ikutan memiliki acara bernama Wooow! yang
tayang 2 kali sehari, pukul 08.00 WIB dan 16.30 WIB. Bila dirata-rata,
program ini menduduki peringkat 144 dengan TVR 0,7 dan share 6,2 (http://www.tabloidbintang.com). Kalau dilihat secara all-channels memang tidak bagus, tapi jika hanya melihat rating tayangan antv, Wooow! ada di peringkat 10.
Stasiun paling senior, RCTI juga punya tayangan serupa. Dengan judul
Top 5, tayang di RCTI pukul 16.15 WIB. Episode perdana yang tayang pada
tanggal 4 September 2011 ada di peringkat 82 dengan TVR 1,3 dan share
11,7 (http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/ulasan/15540-acara-qcourtesy-of-youtubeq-tumbuh-subur-di-tv-nasional.html)
Bagaimana cara produksi tayangan dari program instan ini? Dari pra
produksi, produksi hingga paska produksi tahapannya kira-kira adalah
sebagai berikut. Dimulai dari proses kreatif yakni mencari dan
menentukan tema yang dianggap menarik (unik), selanjutnya membuat skrip
(naskah) dari tema yang telah ditentukan dan dipreview oleh produser.
Langkah berikutnya mencari dan mengumpulkan (mendownload) materi video
dari Youtube sesuai tema yang telah ditentukan. Setelah selesai,
diserahkan ke bagian editing. Dalam proses editing, aspek yang penting
selain meningkatkan kualitas video (pencahayaan dan suara) adalah
mengisi suara narator “VO” (Voice Over). Biasanya talentnya adalah
perempuan dengan suara khas, sebagaimana pengisi suara infotainment,
meskipun tidak sampai sedramatis Fenny Rose :). Proses editing ini
dilakukan dari awal editing (rough cut) sampai final untuk keperluan tayang, dokumentasi di library master, dan back up.
Dari tahapan tersebut sangat jelas, program acara ini tidak
membutuhkan biaya yang besar untuk sekali proses produksi. Bahan utama
dari tayangan hanyalah video yang jumlahnya ribuan dari YouTube lalu
diedit sederhana berdasarkan tema dan materi yang telah ditentukan.
Pada program acara yang menampilkan host (pembawa acara) serta melalui
proses shooting, memerlukan sedikit modal lebih untuk tayangan ini.
Menurut keterangan dari sahabat penulis yang bekerja di salah satu
stasiun televisi swasta, untuk biaya produksi acara semacam ini sendiri
tidak lebih dari 10 juta tiap episodenya. Yang terdiri dari bayaran host
3,5 juta rupiah (host yang sudah punya nama), untuk VO (Voice Over) 250
ribu dan biaya operasional untuk syutingnya memerlukan biaya 3 juta
perepisode. Jika dihitung untuk jumlah keseluruhan biaya produksinya
perepisode adalah 9.250.000 rupiah. Bagimana biaya produksi program
acara Courtesy Youtube yang tidak memakai pembawa acara dan tanpa proses
shooting? Tentu saja jauh lebih murah. Biaya yang dikeluarkan praktis
hanya untuk membayar VO (Voice Over) dan editing, total sekitar 700 ribu
rupiah. Hebatnya, keuntungan perepisode sama seperti program dengan
host dan shooting.
Secara teknis, bahan mentah dari proses tayang adalah 21 menit
ditambah iklan dan promo tayangan menjadi 30 menit setiap episode. Untuk
iklan, umumnya per 30 detik rata-rata dibanderol tarif 6 juta rupiah.
Jika dihitung dengan perincian jumlah iklan dikalikan slot total durasi
untuk TVC, maka akan diperoleh keuntungan yang sangat fantastis. Singkat
kata, keuntungannya sangat besar dalam satu kali tayang. Berkali lipat
dari proses produksi yang tidak seberapa.
Bagaimana dengan hak siarnya? Inilah yang menjadi pangkal
kontroversi. Tayangan-tayangan tersebut hanya menyertakan tulisan
“Courtesy Youtube” atau “Courtesy of Youtube” dan dianggap sudah cukup
sebagai izin pengambilan hak siarnya. Padahal, Youtube sendiri adalah
media jaringan sosial yang menerima unggahan video-video dari berbagai
pihak di seluruh dunia. Video yang diunggah pun hak ciptanya melekat
pada penggunggah atau pemilik asli videonya, bukan Youtube sebagai
medium siar, apalagi stasiun televisi yang bahkan dengan penggunggah
atau pemilik videonya pun tidak saling mengenal atau pernah
berkomunikasi. Kesimpulannya, video-video tersebut menghasilkan uang
tanpa sepengetahuan pemiliknya yang sah. Jelas ini bukan proses kreatif
yang membanggakan.
Sumber
Tampilkan postingan dengan label Hak Cipta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hak Cipta. Tampilkan semua postingan
Selasa, 18 November 2014
Youtube, Acara Televisi dan Hak Cipta
Akhir-akhir ini, beberapa stasiun TV nasional menyajikan pelbagai program dengan modal video dari Youtube. Sebutlah misalnya On the Spot dan Spotlight di Trans7, Hot Spot dan Top Banget di Global TV, Woow! di Anteve dan Top 5
di RCTI. Proses produksi acara seperti ini tergolong instan dan sangat
murah dibandingkan pembuatan program-program konvensional. Iwan
Awaluddin Yusuf (2012) memaparkan langkah-langkah pembuatan program
instan di atas sebagai berikut.
Pertama, tim kreatif menentukan tema yang dianggap menarik dan mengembangkannya menjadi draft naskah. Draft ini diperiksa kelayakannya oleh produser sebelum disetujui. Langkah kedua adalah mengunduh video dari Youtube sesuai tema yang telah ditentukan. Terakhir, video unduhan dari Youtube dan naskahnya diserahkan ke bagian editing. Menurut Iwan, unsur penting dalam editing ini adalah penyempurnaan kualitas video dan pengisian suara narator (voice over). Menariknya, produksi acara dengan langkah seperti ini memakan kurang dari 10 juta rupiah per episode. Jika programnya tidak memakai pembawa acara dan tidak memerlukan syuting, biayanya hanya sekitar 700 ribu rupiah, tapi pemasukan dari iklan sama besarnya dengan program yang dibuat secara regulers! Sungguh menggiurkan…
Program TV yang sepenuhnya berisi video-video Youtube memunculkan keraguan atas legalitasnya dari perspektif hukum hak cipta. Legalkah tindakan tersebut? Seandainya legal, etiskah mengomersilkan video gratisan yang diunduh dari Youtube? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus melihat bagaimana konsep hak cipta dijalankan oleh Youtube, sebagaimana tercantum dalam Syarat dan Ketentuan di situs ini. Saat mengunggah videonya di Youtube, pengunggah dapat memilih salah satu di antara dua lisensi, yakni lisensi Youtube standar (standard Youtube license) atau lisensi Creative Commons (CC).
Dengan lisensi standar, pengunggah video mengizinkan semua orang untuk menonton videonya di Youtube tanpa membayar, tapi tetap melarang download, redistribusi, modifikasi, komersialisasi atau penggandaan atas videonya. Lisensi ini adalah lisensi default, artinya semua pengunggah video secara otomatis dianggap memilih opsi ini jika tidak memilih lisensi yang kedua, yakni Creative Commons (CC). Bisa dikatakan mayoritas video di Youtube memakai lisensi standar, karena umumnya pengunggah malas mengutak-atik opsi ini dan merasa nyaman pada posisi default. Sebaliknya, jika pengunggah memilih opsi yang kedua, Creative Commons (CC), maka orang lain bebas menggandakan, mendistribusikan dan menyiarkan videonya.
Di samping itu, semua orang juga dibebaskan untuk memodifikasi dan mengomersilkan video tersebut. Hanya saja, jumlah video yang menggunakan lisensi CC sangat kecil dibandingkan dengan yang memakai lisensi standar. Pengguna Youtube dapat melihat di bawah video, di mana ada keterangan apakah pengunggah memakai lisensi jenis pertama atau kedua.
Dengan kata lain, video Youtube yang bebas dikomersilkan adalah yang memakai lisensi CC, sementara
video dengan lisensi standar hanya boleh ditonton di Youtube. Artinya, video dengan lisensi CC adalah jenis yang “aman” dipakai untuk acara-acara TV berbasis Youtube. Tapi karena mayoritas video di Youtube menggunakan lisensi standar, patut dipertanyakan apakah para pembuat acara TV berbasis Youtube tersebut benar-benar hanya menggunakan video berlisensi CC? Jika iya, apa buktinya? Faktanya acara-acara berbasis Youtube itu tidak menyertakan declaration yang secara tegas menyatakan bahwa semua video yang mereka tayangkan adalah berlisensi CC. Di sisi lain, mengurus izin penayangan setiap video yang berlisensi standar akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Langkah terakhir ini tentu bertentangan dengan motif awal memakai video dari Youtube, yakni proses yang cepat dan murah meriah.
Mengingat acara-acara berbasis Youtube tersebut tayang hampir setiap hari, kemungkinannya sangat kecil para produser tersebut mau repot-repot mengontak pemilik hak cipta dan bernegosiasi untuk membeli hak siar videonya. Jika memang ini kasusnya, maka mereka melakukan pelanggaran serius terhadap hak cipta dan bisa dituntut secara pidana maupun perdata, selain mempermalukan Indonesia yang sudah dikenal sebagai surganya pembajak.
Sebagian acara TV berbasis Youtube mencantumkan alamat URL dari setiap video yang mereka tayangkan. Di akhir acara, secara khusus ada credit title terima kasih kepada Youtube. Apakah dua langkah ini membebaskan pembuat acara dari dugaan pelanggaran hak cipta? Belum tentu. Sebab, sifat pelanggaran hak cipta adalah berbeda dari plagiarisme, di mana dalam plagiarisme nama pengarang atau pembuat sebuah karya tidak dicantumkan atau disembunyikan. Plagiator hendak memberi kesan bahwa karya yang dia tampilkan adalah karya ciptaannya sendiri dengan menyembunyikan sumber. Sementara dalam pelanggaran hak cipta, pokok persoalannya adalah ketiadaan izin atau lisensi dari pencipta untuk menyiarkannya. Youtube sendiri telah menyatakan bahwa hak cipta atas video yang diunggah ada pada pemiliknya. Situs ini cuma bertindak sebagai media untuk ‘menyiarkan’ video tersebut.
Itulah kenapa dalam Guideline-nya Youtube mendorong stasiun televisi untuk mengontak pengunggah video secara langsung dan meminta izin untuk menyiarkannya. Maka, mencantumkan link dari sebuah video Youtube tak bisa menggugurkan kewajiban untuk minta izin ke pengunggah videonya. Pendeknya, kompleksitas konsep hak cipta yang melekat pada video Youtube tidak bisa diterobos hanya dengan mencantumkan link video dan ucapan terima kasih ke Youtube, sebab isu pokoknya adalah ada atau tidaknya izin.
Alangkah eloknya jika tim produksi acara-acara berbasis Youtube lebih berhati-hati dalam menggunakan video dari Youtube. Pertama, sebaiknya mereka hanya memilih video-video yang berlisensi Creative Commons (CC) atau, jika menggunakan video berlisensi standar, memperoleh izin dari pengunggah video.
Tapi, langkah pertama ini tidak diperlukan jika pemakaiannya adalah pemakaian wajar (fair use). Pengertian pemakaian wajar adalah pemakaian dengan durasi sekedarnya; untuk acara berita (news reporting) dan bukan entertainment; dan untuk dikomentari atau di-review. Kedua, mengikuti anjuran dari Youtube untuk media yang menggunakan videonya, program siaran harus menyebutkan nama asli pengunggah video yang ditampilkan.
Jika ini tidak memungkinkan, nama akun pemilik videolah yang harus ditampilkan, bukan alamat URL-nya. Terakhir, para pembuat acara TV berbasis Youtube harus menyertakan declaration bahwa semua video yang mereka tampilkan diperoleh dengan sah dan tidak melanggar hak cipta.
Dengan deklarasi ini, para pembuat acara tersebut mendidik mereka sendiri dan masyarakat untuk menghargai karya cipta. Penghargaan atas hak cipta pada gilirannya akan merangsang pembuatan karya-karya cipta berbasis kreativitas, sains dan informasi yang berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia.
Sumber : Dari sini
Pertama, tim kreatif menentukan tema yang dianggap menarik dan mengembangkannya menjadi draft naskah. Draft ini diperiksa kelayakannya oleh produser sebelum disetujui. Langkah kedua adalah mengunduh video dari Youtube sesuai tema yang telah ditentukan. Terakhir, video unduhan dari Youtube dan naskahnya diserahkan ke bagian editing. Menurut Iwan, unsur penting dalam editing ini adalah penyempurnaan kualitas video dan pengisian suara narator (voice over). Menariknya, produksi acara dengan langkah seperti ini memakan kurang dari 10 juta rupiah per episode. Jika programnya tidak memakai pembawa acara dan tidak memerlukan syuting, biayanya hanya sekitar 700 ribu rupiah, tapi pemasukan dari iklan sama besarnya dengan program yang dibuat secara regulers! Sungguh menggiurkan…
Program TV yang sepenuhnya berisi video-video Youtube memunculkan keraguan atas legalitasnya dari perspektif hukum hak cipta. Legalkah tindakan tersebut? Seandainya legal, etiskah mengomersilkan video gratisan yang diunduh dari Youtube? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus melihat bagaimana konsep hak cipta dijalankan oleh Youtube, sebagaimana tercantum dalam Syarat dan Ketentuan di situs ini. Saat mengunggah videonya di Youtube, pengunggah dapat memilih salah satu di antara dua lisensi, yakni lisensi Youtube standar (standard Youtube license) atau lisensi Creative Commons (CC).
Dengan lisensi standar, pengunggah video mengizinkan semua orang untuk menonton videonya di Youtube tanpa membayar, tapi tetap melarang download, redistribusi, modifikasi, komersialisasi atau penggandaan atas videonya. Lisensi ini adalah lisensi default, artinya semua pengunggah video secara otomatis dianggap memilih opsi ini jika tidak memilih lisensi yang kedua, yakni Creative Commons (CC). Bisa dikatakan mayoritas video di Youtube memakai lisensi standar, karena umumnya pengunggah malas mengutak-atik opsi ini dan merasa nyaman pada posisi default. Sebaliknya, jika pengunggah memilih opsi yang kedua, Creative Commons (CC), maka orang lain bebas menggandakan, mendistribusikan dan menyiarkan videonya.
Di samping itu, semua orang juga dibebaskan untuk memodifikasi dan mengomersilkan video tersebut. Hanya saja, jumlah video yang menggunakan lisensi CC sangat kecil dibandingkan dengan yang memakai lisensi standar. Pengguna Youtube dapat melihat di bawah video, di mana ada keterangan apakah pengunggah memakai lisensi jenis pertama atau kedua.
Dengan kata lain, video Youtube yang bebas dikomersilkan adalah yang memakai lisensi CC, sementara
video dengan lisensi standar hanya boleh ditonton di Youtube. Artinya, video dengan lisensi CC adalah jenis yang “aman” dipakai untuk acara-acara TV berbasis Youtube. Tapi karena mayoritas video di Youtube menggunakan lisensi standar, patut dipertanyakan apakah para pembuat acara TV berbasis Youtube tersebut benar-benar hanya menggunakan video berlisensi CC? Jika iya, apa buktinya? Faktanya acara-acara berbasis Youtube itu tidak menyertakan declaration yang secara tegas menyatakan bahwa semua video yang mereka tayangkan adalah berlisensi CC. Di sisi lain, mengurus izin penayangan setiap video yang berlisensi standar akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Langkah terakhir ini tentu bertentangan dengan motif awal memakai video dari Youtube, yakni proses yang cepat dan murah meriah.
Mengingat acara-acara berbasis Youtube tersebut tayang hampir setiap hari, kemungkinannya sangat kecil para produser tersebut mau repot-repot mengontak pemilik hak cipta dan bernegosiasi untuk membeli hak siar videonya. Jika memang ini kasusnya, maka mereka melakukan pelanggaran serius terhadap hak cipta dan bisa dituntut secara pidana maupun perdata, selain mempermalukan Indonesia yang sudah dikenal sebagai surganya pembajak.
Sebagian acara TV berbasis Youtube mencantumkan alamat URL dari setiap video yang mereka tayangkan. Di akhir acara, secara khusus ada credit title terima kasih kepada Youtube. Apakah dua langkah ini membebaskan pembuat acara dari dugaan pelanggaran hak cipta? Belum tentu. Sebab, sifat pelanggaran hak cipta adalah berbeda dari plagiarisme, di mana dalam plagiarisme nama pengarang atau pembuat sebuah karya tidak dicantumkan atau disembunyikan. Plagiator hendak memberi kesan bahwa karya yang dia tampilkan adalah karya ciptaannya sendiri dengan menyembunyikan sumber. Sementara dalam pelanggaran hak cipta, pokok persoalannya adalah ketiadaan izin atau lisensi dari pencipta untuk menyiarkannya. Youtube sendiri telah menyatakan bahwa hak cipta atas video yang diunggah ada pada pemiliknya. Situs ini cuma bertindak sebagai media untuk ‘menyiarkan’ video tersebut.
Itulah kenapa dalam Guideline-nya Youtube mendorong stasiun televisi untuk mengontak pengunggah video secara langsung dan meminta izin untuk menyiarkannya. Maka, mencantumkan link dari sebuah video Youtube tak bisa menggugurkan kewajiban untuk minta izin ke pengunggah videonya. Pendeknya, kompleksitas konsep hak cipta yang melekat pada video Youtube tidak bisa diterobos hanya dengan mencantumkan link video dan ucapan terima kasih ke Youtube, sebab isu pokoknya adalah ada atau tidaknya izin.
Alangkah eloknya jika tim produksi acara-acara berbasis Youtube lebih berhati-hati dalam menggunakan video dari Youtube. Pertama, sebaiknya mereka hanya memilih video-video yang berlisensi Creative Commons (CC) atau, jika menggunakan video berlisensi standar, memperoleh izin dari pengunggah video.
Tapi, langkah pertama ini tidak diperlukan jika pemakaiannya adalah pemakaian wajar (fair use). Pengertian pemakaian wajar adalah pemakaian dengan durasi sekedarnya; untuk acara berita (news reporting) dan bukan entertainment; dan untuk dikomentari atau di-review. Kedua, mengikuti anjuran dari Youtube untuk media yang menggunakan videonya, program siaran harus menyebutkan nama asli pengunggah video yang ditampilkan.
Jika ini tidak memungkinkan, nama akun pemilik videolah yang harus ditampilkan, bukan alamat URL-nya. Terakhir, para pembuat acara TV berbasis Youtube harus menyertakan declaration bahwa semua video yang mereka tampilkan diperoleh dengan sah dan tidak melanggar hak cipta.
Dengan deklarasi ini, para pembuat acara tersebut mendidik mereka sendiri dan masyarakat untuk menghargai karya cipta. Penghargaan atas hak cipta pada gilirannya akan merangsang pembuatan karya-karya cipta berbasis kreativitas, sains dan informasi yang berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia.
Sumber : Dari sini
Langganan:
Postingan (Atom)