Selasa, 18 November 2014

Youtube, Acara Televisi dan Hak Cipta

Akhir-akhir ini, beberapa stasiun TV nasional menyajikan pelbagai program dengan modal video dari Youtube. Sebutlah misalnya On the Spot dan Spotlight di Trans7, Hot Spot dan Top Banget di Global TV, Woow! di Anteve dan Top 5 di RCTI. Proses produksi acara seperti ini tergolong instan dan sangat murah dibandingkan pembuatan program-program konvensional. Iwan Awaluddin Yusuf (2012) memaparkan langkah-langkah pembuatan program instan di atas sebagai berikut.

Pertama, tim kreatif menentukan tema yang dianggap menarik dan mengembangkannya menjadi draft naskah. Draft ini diperiksa kelayakannya oleh produser sebelum disetujui. Langkah kedua adalah mengunduh video dari Youtube sesuai tema yang telah ditentukan. Terakhir, video unduhan dari Youtube dan naskahnya diserahkan ke bagian editing. Menurut Iwan, unsur penting dalam editing ini adalah penyempurnaan kualitas video dan pengisian suara narator (voice over). Menariknya, produksi acara dengan langkah seperti ini memakan kurang dari 10 juta rupiah per episode. Jika programnya tidak memakai pembawa acara dan tidak memerlukan syuting, biayanya hanya sekitar 700 ribu rupiah, tapi pemasukan dari iklan sama besarnya dengan program yang dibuat secara regulers! Sungguh menggiurkan…

Program TV yang sepenuhnya berisi video-video Youtube memunculkan keraguan atas legalitasnya dari perspektif hukum hak cipta. Legalkah tindakan tersebut? Seandainya legal, etiskah mengomersilkan video gratisan yang diunduh dari Youtube? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus melihat bagaimana konsep hak cipta dijalankan oleh Youtube, sebagaimana tercantum dalam Syarat dan Ketentuan di situs ini. Saat mengunggah videonya di Youtube, pengunggah dapat memilih salah satu di antara dua lisensi, yakni lisensi Youtube standar (standard Youtube license) atau lisensi Creative Commons (CC).

Dengan lisensi standar, pengunggah video mengizinkan semua orang untuk menonton videonya di Youtube tanpa membayar, tapi tetap melarang download, redistribusi, modifikasi, komersialisasi atau penggandaan atas videonya. Lisensi ini adalah lisensi default, artinya semua pengunggah video secara otomatis dianggap memilih opsi ini jika tidak memilih lisensi yang kedua, yakni Creative Commons (CC). Bisa dikatakan mayoritas video di Youtube memakai lisensi standar, karena umumnya pengunggah malas mengutak-atik opsi ini dan merasa nyaman pada posisi default. Sebaliknya, jika pengunggah memilih opsi yang kedua, Creative Commons (CC), maka orang lain bebas menggandakan, mendistribusikan dan menyiarkan videonya.

Di samping itu, semua orang juga dibebaskan untuk memodifikasi dan mengomersilkan video tersebut. Hanya saja, jumlah video yang menggunakan lisensi CC sangat kecil dibandingkan dengan yang memakai lisensi standar. Pengguna Youtube dapat melihat di bawah video, di mana ada keterangan apakah pengunggah memakai lisensi jenis pertama atau kedua.

Dengan kata lain, video Youtube yang bebas dikomersilkan adalah yang memakai lisensi CC, sementara
video dengan lisensi standar hanya boleh ditonton di Youtube. Artinya, video dengan lisensi CC adalah jenis yang “aman” dipakai untuk acara-acara TV berbasis Youtube. Tapi karena mayoritas video di Youtube menggunakan lisensi standar, patut dipertanyakan apakah para pembuat acara TV berbasis Youtube tersebut benar-benar hanya menggunakan video berlisensi CC? Jika iya, apa buktinya? Faktanya acara-acara berbasis Youtube itu tidak menyertakan declaration yang secara tegas menyatakan bahwa semua video yang mereka tayangkan adalah berlisensi CC. Di sisi lain, mengurus izin penayangan setiap video yang berlisensi standar akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Langkah terakhir ini tentu bertentangan dengan motif awal memakai video dari Youtube, yakni proses yang cepat dan murah meriah.

 Mengingat acara-acara berbasis Youtube tersebut tayang hampir setiap hari, kemungkinannya sangat kecil para produser tersebut mau repot-repot mengontak pemilik hak cipta dan bernegosiasi untuk membeli hak siar videonya. Jika memang ini kasusnya, maka mereka melakukan pelanggaran serius terhadap hak cipta dan bisa dituntut secara pidana maupun perdata, selain mempermalukan Indonesia yang sudah dikenal sebagai surganya pembajak.

 Sebagian acara TV berbasis Youtube mencantumkan alamat URL dari setiap video yang mereka tayangkan. Di akhir acara, secara khusus ada credit title terima kasih kepada Youtube. Apakah dua langkah ini membebaskan pembuat acara dari dugaan pelanggaran hak cipta? Belum tentu. Sebab, sifat pelanggaran hak cipta adalah berbeda dari plagiarisme, di mana dalam plagiarisme nama pengarang atau pembuat sebuah karya tidak dicantumkan atau disembunyikan. Plagiator hendak memberi kesan bahwa karya yang dia tampilkan adalah karya ciptaannya sendiri dengan menyembunyikan sumber. Sementara dalam pelanggaran hak cipta, pokok persoalannya adalah ketiadaan izin atau lisensi dari pencipta untuk menyiarkannya. Youtube sendiri telah menyatakan bahwa hak cipta atas video yang diunggah ada pada pemiliknya. Situs ini cuma bertindak sebagai media untuk ‘menyiarkan’ video tersebut.

Itulah kenapa dalam Guideline-nya Youtube mendorong stasiun televisi untuk mengontak pengunggah video secara langsung dan meminta izin untuk menyiarkannya. Maka, mencantumkan link dari sebuah video Youtube tak bisa menggugurkan kewajiban untuk minta izin ke pengunggah videonya. Pendeknya, kompleksitas konsep hak cipta yang melekat pada video Youtube tidak bisa diterobos hanya dengan mencantumkan link video dan ucapan terima kasih ke Youtube, sebab isu pokoknya adalah ada atau tidaknya izin.

Alangkah eloknya jika tim produksi acara-acara berbasis Youtube lebih berhati-hati dalam menggunakan video dari Youtube. Pertama, sebaiknya mereka hanya memilih video-video yang berlisensi Creative Commons (CC) atau, jika menggunakan video berlisensi standar, memperoleh izin dari pengunggah video.

Tapi, langkah pertama ini tidak diperlukan jika pemakaiannya adalah pemakaian wajar (fair use). Pengertian pemakaian wajar adalah pemakaian dengan durasi sekedarnya; untuk acara berita (news reporting) dan bukan entertainment; dan untuk dikomentari atau di-review. Kedua, mengikuti anjuran dari Youtube untuk media yang menggunakan videonya, program siaran harus menyebutkan nama asli pengunggah video yang ditampilkan.

Jika ini tidak memungkinkan, nama akun pemilik videolah yang harus ditampilkan, bukan alamat URL-nya. Terakhir, para pembuat acara TV berbasis Youtube harus menyertakan declaration bahwa semua video yang mereka tampilkan diperoleh dengan sah dan tidak melanggar hak cipta.

Dengan deklarasi ini, para pembuat acara tersebut mendidik mereka sendiri dan masyarakat untuk menghargai karya cipta. Penghargaan atas hak cipta pada gilirannya akan merangsang pembuatan karya-karya cipta berbasis kreativitas, sains dan informasi yang berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia.

Sumber : Dari sini

0 comments:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: Support@templateism.com

Our Team Memebers