Akhir-akhir ini, beberapa stasiun TV nasional menyajikan pelbagai program dengan modal video dari Youtube. Sebutlah misalnya On the Spot dan Spotlight di Trans7, Hot Spot dan Top Banget di Global TV, Woow! di Anteve dan Top 5
di RCTI. Proses produksi acara seperti ini tergolong instan dan sangat
murah dibandingkan pembuatan program-program konvensional. Iwan
Awaluddin Yusuf (2012) memaparkan langkah-langkah pembuatan program
instan di atas sebagai berikut.
Pertama, tim kreatif menentukan tema
yang dianggap menarik dan mengembangkannya menjadi draft naskah. Draft
ini diperiksa kelayakannya oleh produser sebelum disetujui. Langkah
kedua adalah mengunduh video dari Youtube sesuai tema yang telah
ditentukan. Terakhir, video unduhan dari Youtube dan naskahnya
diserahkan ke bagian editing. Menurut Iwan, unsur penting dalam editing ini adalah penyempurnaan kualitas video dan pengisian suara narator (voice over).
Menariknya, produksi acara dengan langkah seperti ini memakan kurang
dari 10 juta rupiah per episode. Jika programnya tidak memakai pembawa
acara dan tidak memerlukan syuting, biayanya hanya sekitar 700 ribu
rupiah, tapi pemasukan dari iklan sama besarnya dengan program yang
dibuat secara regulers! Sungguh menggiurkan…
Program TV yang sepenuhnya berisi
video-video Youtube memunculkan keraguan atas legalitasnya dari
perspektif hukum hak cipta. Legalkah tindakan tersebut? Seandainya
legal, etiskah mengomersilkan video gratisan yang diunduh dari Youtube?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus melihat bagaimana
konsep hak cipta dijalankan oleh Youtube, sebagaimana tercantum dalam
Syarat dan Ketentuan di situs ini. Saat mengunggah videonya di Youtube,
pengunggah dapat memilih salah satu di antara dua lisensi, yakni lisensi
Youtube standar (standard Youtube license) atau lisensi Creative Commons
(CC).
Dengan lisensi standar, pengunggah video mengizinkan semua orang
untuk menonton videonya di Youtube tanpa membayar, tapi tetap melarang download, redistribusi, modifikasi, komersialisasi atau penggandaan atas videonya. Lisensi ini adalah lisensi default, artinya semua pengunggah video secara otomatis dianggap memilih opsi ini jika tidak memilih lisensi yang kedua, yakni Creative Commons
(CC). Bisa dikatakan mayoritas video di Youtube memakai lisensi
standar, karena umumnya pengunggah malas mengutak-atik opsi ini dan
merasa nyaman pada posisi default. Sebaliknya, jika pengunggah memilih opsi yang kedua, Creative Commons
(CC), maka orang lain bebas menggandakan, mendistribusikan dan
menyiarkan videonya.
Di samping itu, semua orang juga dibebaskan untuk
memodifikasi dan mengomersilkan video tersebut. Hanya saja, jumlah video
yang menggunakan lisensi CC sangat kecil dibandingkan dengan yang
memakai lisensi standar. Pengguna Youtube dapat melihat di bawah video,
di mana ada keterangan apakah pengunggah memakai lisensi jenis pertama
atau kedua.
Dengan kata lain, video Youtube yang bebas dikomersilkan adalah yang
memakai lisensi CC, sementara
video dengan lisensi standar hanya boleh
ditonton di Youtube. Artinya, video dengan lisensi CC adalah jenis yang
“aman” dipakai untuk acara-acara TV berbasis Youtube. Tapi karena
mayoritas video di Youtube menggunakan lisensi standar, patut
dipertanyakan apakah para pembuat acara TV berbasis Youtube tersebut
benar-benar hanya menggunakan video berlisensi CC? Jika iya, apa
buktinya? Faktanya acara-acara berbasis Youtube itu tidak menyertakan declaration
yang secara tegas menyatakan bahwa semua video yang mereka tayangkan
adalah berlisensi CC. Di sisi lain, mengurus izin penayangan setiap
video yang berlisensi standar akan memakan waktu lama dan biaya yang
tidak sedikit. Langkah terakhir ini tentu bertentangan dengan motif awal
memakai video dari Youtube, yakni proses yang cepat dan murah meriah.
Mengingat acara-acara berbasis Youtube tersebut tayang hampir setiap
hari, kemungkinannya sangat kecil para produser tersebut mau repot-repot
mengontak pemilik hak cipta dan bernegosiasi untuk membeli hak siar
videonya. Jika memang ini kasusnya, maka mereka melakukan pelanggaran
serius terhadap hak cipta dan bisa dituntut secara pidana maupun
perdata, selain mempermalukan Indonesia yang sudah dikenal sebagai
surganya pembajak.
Sebagian acara TV berbasis Youtube mencantumkan alamat URL dari
setiap video yang mereka tayangkan. Di akhir acara, secara khusus ada credit title
terima kasih kepada Youtube. Apakah dua langkah ini membebaskan pembuat
acara dari dugaan pelanggaran hak cipta? Belum tentu. Sebab, sifat
pelanggaran hak cipta adalah berbeda dari plagiarisme, di mana dalam
plagiarisme nama pengarang atau pembuat sebuah karya tidak dicantumkan
atau disembunyikan. Plagiator hendak memberi kesan bahwa karya yang dia
tampilkan adalah karya ciptaannya sendiri dengan menyembunyikan sumber.
Sementara dalam pelanggaran hak cipta, pokok persoalannya adalah
ketiadaan izin atau lisensi dari pencipta untuk menyiarkannya. Youtube
sendiri telah menyatakan bahwa hak cipta atas video yang diunggah ada
pada pemiliknya. Situs ini cuma bertindak sebagai media untuk
‘menyiarkan’ video tersebut.
Itulah kenapa dalam Guideline-nya
Youtube mendorong stasiun televisi untuk mengontak pengunggah video
secara langsung dan meminta izin untuk menyiarkannya. Maka, mencantumkan
link dari sebuah video Youtube tak bisa menggugurkan kewajiban
untuk minta izin ke pengunggah videonya. Pendeknya, kompleksitas konsep
hak cipta yang melekat pada video Youtube tidak bisa diterobos hanya
dengan mencantumkan link video dan ucapan terima kasih ke Youtube, sebab isu pokoknya adalah ada atau tidaknya izin.
Alangkah eloknya jika tim produksi acara-acara berbasis Youtube lebih
berhati-hati dalam menggunakan video dari Youtube. Pertama, sebaiknya
mereka hanya memilih video-video yang berlisensi Creative Commons
(CC) atau, jika menggunakan video berlisensi standar, memperoleh izin
dari pengunggah video.
Tapi, langkah pertama ini tidak diperlukan jika
pemakaiannya adalah pemakaian wajar (fair use). Pengertian pemakaian wajar adalah pemakaian dengan durasi sekedarnya; untuk acara berita (news reporting) dan bukan entertainment; dan untuk dikomentari atau di-review.
Kedua, mengikuti anjuran dari Youtube untuk media yang menggunakan
videonya, program siaran harus menyebutkan nama asli pengunggah video
yang ditampilkan.
Jika ini tidak memungkinkan, nama akun pemilik
videolah yang harus ditampilkan, bukan alamat URL-nya. Terakhir, para
pembuat acara TV berbasis Youtube harus menyertakan declaration
bahwa semua video yang mereka tampilkan diperoleh dengan sah dan tidak
melanggar hak cipta.
Dengan deklarasi ini, para pembuat acara tersebut
mendidik mereka sendiri dan masyarakat untuk menghargai karya cipta.
Penghargaan atas hak cipta pada gilirannya akan merangsang pembuatan
karya-karya cipta berbasis kreativitas, sains dan informasi yang
berkontribusi pada kemajuan peradaban manusia.
Sumber : Dari sini
Selasa, 18 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar